Text
Apa itu kebebasan memperoleh informasi?
Sebelum krisis moneter menimpa Indonesia di pertengahan 1997, hidup nungki wagar kelurahan Maccini Sombala, Ujung Pandang, tergolong berkecukupan. Sehari-hari dia mengelola ekspor udang lobster ke luar negeri.� Namun ketika badai krisismenoter datang seluruh usahanya bagai terkena putting beliung Nungki jadi penduduk biasa, bukan konglomerat. Oleh karena itu, Nungki sekarang masuk dalam program Jaminan Pengaman Sosial (JPS). Setiap bulan Nungki berhak memperoleh jatah beras sebanyak 10 kilogram dengan harga Rp. 10.000, lebih murah dibanding harga pasar Rp. 17.500. Tapi, lama kelamaan jatah beras tersebut menyusut. Dari 10 kilogram dipotong oleh lurah Maccini Sombala sebanyak 2-3 liter. Waktu pembagian diulur-ulur. Dari setiap bulan menjadi tiga bulan dua kali pembagian.
Kasus pemotongan beras oleh lurah ini tidak terjadi jika keterbukaan informasi diberlakukan. Nungki yang dipotong jatah beras JPS-nya, bisa mengetahui kebijakan pemerintah secara jelas dalam hal ini. Informasi publik sepertii criteria yang berhak menerima, dan berapa jatah per keluarga yang dapat ia akses. Apabila pada kenyataannya terjadi penyusutan jatah, berkat informasi yang diterima Nungki bisa mempertanyakan bahkan menggugat aparat pemerintahan yang bertanggungjawab atas hal ini.
Kasus tersebut merupakan salah satu contoh dan simulasi jika undang-undang keterbukaan informasi diberlakukan. Buku �Apa Itu Kebebasan Memperoleh Informasi?� memang ditulis sebelum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Keterbukaan Informasi Publik disahkan. Contoh-contoh seperti di atas diharapkan mampu menggugah para pembaca tentang pentingnya keterbukaan informasi, yaitu ��kalangan pejabat pemerintah, kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kalangan Aktifis Swadaya Masyarakat, pendamping masyarakat akar rumput itu sendiri (kata pengantar).
Buku ini merupakan respon terhadap panjangnya pembahasan Rancangan UU Keterbukaan Memperoleh Informasi (KMI) di DPR. RUU tersebut sudah masuk di DPR semenjak tahun 2000. Namun, hingga buku ini diterbitkan pada 2005, pembahasan belum selesai. Terlebih 2005 merupakan tahun paska Pemilihan Umum 2004. Sehingga kehadiran buku ini sangat penting untuk mendorong kembali pembahasan RUU KMI kembali. Tampaknya, buku yang ditulis oleh Ignatius Haryanto tersebut cukup memberi pengaruh kepada anggota DPR dan Pemerintah. Walhasil, tahun 2008 RUU KMI disahkan dengan nama Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dengan usaha advokasi yang lain tentunya. [AH]
HD20170689 | HD 658.4038 HAR a | My Library | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain