Text
Psikologi dan Teknologi Informasi
Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semakin meluas dan tidaklah mungkin dibendung. Banyak manfaat telah dirasakan, namun tidak jarang kehadirannya justru memunculkan persoalan. Kedua sisi ini berkelindan masuk ke segala sendi kehidupan, dari ranah publik hingga privat. Sebagai pribadi, keluarga, masyarakat bahkan negara terkadang gagap bahkan tidak jarang gagal menanggapi perubahan yang terjadi karenanya. Bidang ilmu Psikologi, sebagai sebuah praktek dan kajian memiliki panggilan menanggapi situasi tersebut.
TIK dapat dipahami sebagai “semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi” (Kemristek, 2006, hal.8). Pengertian luas ini melibatkan beragam teknologi seperti radio, televisi, video, DVD, telepon (sambungan telepon tidak bergerak dan telepon selular), sistem satelit, komputer, jaringan keras, perangkat lunak, termasuk segala perangkat dan layanan komunikasi yang berhubungan dengan teknologi ini, seperti konferensi video, surat elektronik dan blog (UNESCO, 2007). Luasnya pengertian dan medium yang digunakan memperlihatkan hampir tidak ada sisi kehidupan masyarakat saat ini dapat terlepas dari TIK.
Pengguna Internet di seluruh dunia misalnya, kini mencapai 3 milyar (40% populasi dunia) dan dua per tiganya berasal dari negara-negara berkembang (ITU, 2014). Data lain memperlihatkan pelanggan telepon seluler dunia telah mencapai 7 milyar dan lebih dari setengahnya adalah pelanggan di wilayah Asia-Pasifik (ITU, 2014). Kondisi ini merefleksikan kondisi di Indonesia. Pada tahun 2012 penetrasi pengguna internet Indonesia sebanyak 24,23%, jumlah ini meningkat menjadi 34.9% di tahun 2014 (APJII, 2014). Sebanyak 85% dari pengguna internet tersebut mengakses melalui telepon selular (APJII, 2014). Hanya saja profil angka-angka tersebut menyisakan beberapa persoalan dalam hal pemerataan akses, biaya layanan, dan kualitas konektivitas. Riset APJII (2014) menunjukkan tidak meratanya pengguna internet, wilayah Indonesia bagian Barat merupakan pengguna internet terbesar (78,5%). Terkait biaya, data Bappenas (2014) menyebutkan tingginya biaya penyediaan layanan internet per bulan, bila dibandingkan rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulan masyarakat Indonesia. Kecepatan unduh (download) di Indonesia juga termasuk rendah, bila dibandingkan negara-negara Asia lain (Bappenas, 2014).
Menanggapi situasi itu, pemerintah melaksanakan beberapa upaya, salah satunya melalui Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) 2014-2019 yang tertuang melalui Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014. RPI “…didefinisikan sebagai akses internet dengan jaminan konektivitas selalu tersambung, terjamin ketahanan dan keamanan informasinya serta memiliki kemampuan triple-play dengan kecepatan minimal 2 Mbps untuk akses tetap (fixed) dan 1 Mbps untuk akses bergerak (mobile) “(Bappenas, 2014, hal. 6). Terlepas dari definisi yang mungkin terlalu teknis dipahami bagi komunitas psikologi, pokok semangatnya adalah menyediakan jaringan koneksi internet di seluruh Indonesia secara handal dan aman. Dengan demikian diharapkan akan, “..mendukung pertumbuhan pembangunan nasional dan daya saing Indonesia di tingkat global, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia” (Bappenas, 2014, hal. 6).
Upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah berita gembira, sebab dengan demikian kita nantinya semakin memiliki kesempatan untuk mengetahui dan terlibat di beragam manfaat TIK untuk kemajuan kualitas hidup manusia. Kita semakin cepat mengetahui peristiwa-peristiwa terkini dunia. Kita semakin memiliki banyak sumber informasi atas segala keingintahuan. Informasi yang mutahir dan mudah diakses akan banyak bermanfaat untuk tujuan-tujuan peningkatan kesejahteraan manusia, seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Kitapun semakin memiliki beragam medium komunikasi untuk terhubung dengan orang lain, dimanapun dan kapanpun. Kita juga semakin dapat terlibat dalam beragam isu dan minat yang memungkinkan segala ekspresi maupun kepentingan tersampaikan. Ini adalah dunia baru yang semakin mengintegrasikan dunia nyata dan dunia maya.
Dunia baru tersebut adalah pengalaman baru bagi sebagian pribadi dan masyarakat. Pengalaman baru ini berdampak positif bagi sekelompok orang yang dapat memanfaatkan kehadiran TIK untuk kesejahteraan diri atau masyarakatnya. Melalui TIK misalnya, seseorang dapat menjual hasil produksinya kemanapun, menemukan anak yang hilang, mempertemukan sanak saudara yang selama ini putus hubungan, melakukan konseling, menggalang dan meminta bantuan, membentuk komunitas, memperbaiki kualitas proses belajar mengajar, menyebarkan pertanyaan riset secara lebih luas, hingga melakukan tekanan politik bagi pemerintah.
Hasil positif TIK sebagaimana digambarkan di atas baru realita satu sisi. Di sisi lain, TIK memberikan pengalaman baru disertai perubahan serta ekses yang menyertainya. Peristiwa-peristiwa ini tidak pernah terjadi di era-era sebelumnya. Seringkali masyarakat belum siap untuk menerima sejumlah ekses negatif dunia baru ini. Misalnya peristiwa, seorang anak sekolah mengalami kekerasan seksual oleh seseorang yang dikenalnya di jejaring sosial, seorang anak menjadi stres karena dirinya dirusak di media sosial, adanya penipuan secara daring, adanya prostitusi daring, relasi perkawinan menjadi retak karena perkenalan salah satu pihak melalui situs jejaring sosial, bahkan relasi antar negara menjadi terganggu karena adanya informasi rahasia yang telah dibocorkan melalui suatu situs. Realitas kelam ini adalah satu sisi persoalan aktual yang menyebabkan ruang-ruang konseling, seminar-seminar dan kajian-kajian psikologi dipenuhi narasi tentang dampak TIK bagi masyarakat. Mereka datang mengadu, bertanya dan berkeluh-kesah karena penggunaan TIK yang telah mengganggu, bahkan merusak diri atau relasinya dengan orang lain.
Dari sini dapat dikatakan, TIK pada dasarnya tetaplah sebuah teknologi. Ia hadir sebagai alat bantu untuk memenuhi beragam kebutuhan manusia. Teknologi tidak pernah netral karena didasari oleh pengetahuan yang memiliki nilai-nilai tertentu (Flanagan, Howe & Nissenbaum, 2008). Relasi antara manusia dan teknologi juga dimediasi oleh beragam aspek yang menyertainya, seperti: sejarah, budaya, komunitas, pembagian tugas, dan peran (lih. Rückriem, 2009). Dengan kata lain, relasi antara manusia dan TIK tidak memadai lagi bila dipandang sebagai relasi yang impersonal dan eksklusif. Para pengguna adalah pribadi-pribadi yang saat memanfaatkan TIK melibatkan persepsi, ingatan-ingatan, kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, sikap, motif, motivasi, kepribadian, pengetahuan, emosi, keterampilan dan pemaknaan-pemaknaan yang bersifat personal dan sosial. Atribut-atribut psikologis itu kemudian dibingkai dalam kontradiksi-kontradiksi eksistensial psikologis manusia, antara: kita-kami (Hassan, 2014); kehidupan-kematian, kebebasan-ketidakbebasan, isolasi-keterhubungan dan keberartian-ketidakberartian (Yalom, 1980). TIK kemudian menjadi medan interaksi dinamis antara atribut-atribut dan kontradiksi-kontradiksi eksistensial psikologis tersebut. Terkadang menyebabkan potensi-potensi keunggulan diri serta masyarakat menjadi tumpul dan mandeg, namun sebaliknya mampu juga menstimulasi munculnya potensi-potensi yang ada. Pada tarikan-tarikan inilah psikologi--sebagai praktek psikologis dan kajian keilmuan--berperan memberikan sumbangsih keterampilan dan pemikiran agar atribut-atribut serta kontradiksi-kontradiksi tersebut diselaraskan, sehingga TIK dapat dijadikan medium pengembangan diri serta masyarakat.
Saat ini Indonesia berada di periode bonus demografi, yaitu ketika jumlah penduduk usia produktif (15-65 tahun) lebih banyak daripada penduduk non produktif (lih. BPS, 2013). Jumlahnya diproyeksikan meningkat dari 66,5 % pada tahun 2010, menjadi 68,1% pada tahun 2028 sampai 2031 (lih. BPS, 2013). Pada konteks TIK, pengguna internet di Indonesia saat ini hampir setengahnya (49%) berasal dari kelompok usia muda, yaitu 18-25 tahun (APJII, 2014). Sebanyak 60% pengguna internet dari kategori usia tersebut mengakses internet dari telepon selular (APJII, 2014). Data-data ini memperlihatkan bahwa kini dan nanti masyarakat Indonesia dapat dengan mudah menjadi subyek dan objek pemanfaatan TIK, baik secara positif atau negatif. Bila kita sepakat bahwa momentum bonus demografi harus disiapkan dan dimanfaatkan demi kemajuan Indonesia, maka isu peran psikologi dalam pemanfaatan TIK di masyarakat adalah keniscayaan bagi komunitas psikologi di Indonesia. Untuk selanjutnya memahami, merawat dan mengawal para penerus bangsa ini memanfaatkan TIK sesuai penghayatan pengalamannya yang khas dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Sebagai bidang ilmu dan terapan yang bersentuhan erat dengan manusia, Psikologi sangat dapat berkontribusi untuk membantu pemanfaatan optimal TIK bagi kesejahteraan kualitas hidup masyarakat dan individu. Kajian dan praktik Psikologi yang dilakukan para psikolog maupuan ilmuwan psikologi selama ini telah membuahkan konsep, ide, gagasan, maupun pengalaman berharga tentang bagaimana relasi TIK dalam perilaku manusia di beragam konteks. Gagasan, insight dan praktik cerdas (best practices) dari karya nyata ini tentunya dapat dikembangkan menjadi upaya edukasi, promotif dan kuratif untuk penggunaan TIK di masyarakat.
HD20170616 | HD 158 p | My Library | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain